Senin, 19 Oktober 2009

Rumah Pergerakan HOS Tjokroaminoto





Harian Surya
Senin, 19 Oktober 2009

SEBUAH rumah kecil sederhana tipikal bangunan khas Jawa masih kokoh di Jl Peneleh Gg VII No.29-31, Kecamatan Genteng, Surabaya Pusat. Rumah bercat hijau putih, berpagar kayu yang tak berpenghuni itu selalu dalam keadaan tertutup rapat. Hanya sesekali dibuka bila ada tamu. Mereka adalah yang berminat akan cerita riwayat rumah beserta para tokoh yang pernah mendiaminya.
Apa yang menjadikan rumah itu istimewa? Siapa sangka ternyata Haji Oemar Said Tjokroaminoto, pahlawan nasional yang terkenal dengan julukan ”Raja Jawa Tanpa Mahkota” , adalah sang pemilik rumah itu.
HOS, sebutannya, begitu karismatik pada masa perjuangan awal abad 20. Sikapnya jujur dan tegas terhadap pemerintah kolonial. HOS Tjokro menjadi pelopor bagi warga pribumi dalam menuntut hak-haknya. Orasinya yang berani dan membangkitkan nasionalisme sungguh dikagumi. Hal inilah yang membuatnya dikagumi kawan maupun lawan.
HOS Tjokro menempati rumah itu cukup lama ketika menjabat sebagai pimpinan Sarekat Islam, organisasi Islam terbesar di masanya. Ia menjadikan kediamannya sebagai basis perkumpulan tokoh-tokoh pergerakan nasional. Jutaan orang dipimpinnya dari sini.
Di tempatnya pula pernah dipakai indekos kader-kader pejuang yang mewarnai episode sejarah Indonesia. ”Bung Karno, Darsono, Semaun, dan Kartosoewirjo pernah tinggal sini waktu mereka remaja,” terang Bu Emma Nadima Simbolon, pengurus rumah yang melanjutkan pengabdian orang tuanya. ”Mereka menempati bilik belakang dan atas, sedangkan HOS Tjokro dan istrinya menempati kamar depan.”

Selama mereka ngekos, HOS Tjokro mengangkatnya sebagai murid, membekalinya dengan keilmuan. Menggemblengnya dengan agama dan politik. Bahkan, Beliau menikahkan putrinya, Siti Oetari dengan Bung Karno.
Sebagai tokoh sentral, rumah HOS Tjokro kerap disambangi para tokoh nasional. Rumah itu menjadi saksi bisu pergolakan ide, pemikiran, dan perdebatan dalam merumuskan blueprint masa depan Hindia-Belanda (nama Indonesia dulu).
Buya Hamka, KH Mas Mansur, Ki Hajar Dewantara, dan H Agus Salim adalah beberapa nama yang sering bertukar pikiran di ruang tamu rumah. Beberapa foto yang terpajang menggambarkan atmosfer saat itu.

Kombinasi antara kecerdasan dan interaksi secara langsung dengan para figur senior dalam waktu lama banyak membentuk wacana berpikir para murid didikan HOS Tjokro. Menjadi lebih unik ketika mereka, kedepannya masing-masing memiliki orientasi ideologi kenegaraan yang berlainan.

Soekarno dengan paham Nasionalisme, Semaun-Darsono beraliran Sosialisme, dan Kartosoewirjo condong ke Islam konservatif. Hebatnya, mereka menjadi tokoh yang sangat berpengaruh bagi pahamnya. Mempelajari perjalanan sejarah pergerakan nasional juga tak bisa dilepaskan dari nama-nama ini.

Bangunan mungil itu masih bertahan. Di gang kecil di antara kepungan gedung-gedung. Seakan menatap perkembangan zaman kemerdekaan. Seolah berkata, dari tempat inilah cikal bakal pergerakan bangsa ini berasal.

Mengingat peran dan filosofinya, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya menetapkannya sebagai cagar budaya baru-baru ini. Sebagai warisan sejarah yang harus tetap dilestarikan. Sebagai bukti nyata membangun bangsa butuh perjuangan, perencanaan dan pemikiran matang. Supaya generasi sekarang dapat mengambil hikmahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar